Perlawanan dari Atas Panggung

KOMPAS
Minggu, 16 Agustus 2009 | 03:24 WIB
Putu Fajar Arcana

Pilihan terhadap realisme di panggung teater di tengah silang sengkarut kebudayaan urban hanya akan mengundang risiko. Bahkan, apa yang terjadi di panggung tak mungkin bisa menyamai kenyataan, yang kata pemikir kebudayaan Umberto Echo kian menuju pada hiper-realitas.
Ada dua risiko yang harus ditantang Mainteater Bandung ketika mementaskan naskah adaptasi dari novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH, Rabu (12/8)-Kamis (13/8) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Penulis naskah sekaligus sutradara, Wawan Sofwan, harus bekerja sama dengan penulis FX Rudi Gunawan untuk menaklukkan novel Ramadhan KH yang pelik dan penuh dengan plot simpangan. Wawan dan Rudi bahkan menyebutkan mereka sampai harus membuat enam draf sebelum akhirnya naskah siap dipentaskan. Itu risiko pertama mengadaptasi kisah yang dituturkan orang lain dalam bentuk yang lebih naratif.
”Sejumlah adegan dalam draf enam harus dihilangkan untuk mempertajam konflik,” ujar Rudi Gunawan. Persoalan belum selesai. Materi cerita yang disediakan Ramadhan sesungguhnya perkara korupsi di tubuh perusahaan minyak terbesar di Indonesia, Perminus (Perusahaan Minyak Nusantara), yang terjadi tahun 1970-an. Kita tahu korupsi sampai di masa kini adalah kisah-kisah tragik-komedi sekaligus mengandung absurditas absolut. Inilah tantangan kedua, yang kemudian membuat Wawan Sofwan memutuskan memilih bentuk realis.
”Kami mengangkut dua truk properti langsung dari Bandung,” kata Wawan. Cukup beralasan, karena seluruh landasan panggung beserta perabotan, seperti meja, kursi, jendela, gantungan topi, vas bunga, tempat tidur, kasur, dan tentu saja kostum pemain, semuanya adalah benda sehari-hari yang kita kenal dan memiliki volume besar.
Jangan heran bila kemudian pergerakan adegan sangat ditentukan oleh setting. Lakon tidak hanya disusun oleh struktur plot yang ketat, tetapi juga dibangun oleh setting. Begitulah risiko berat yang harus ditempuh Wawan. Benda-benda seperti meja dan kursi tak memberi imajinasi apa pun ketika ia ditempatkan dalam bingkai realisme. Salah-salah bisa menjerumuskan pementasan pada kelambanan dan membelenggu kebebasan tafsir.
Adegan pendek
Wawan dan Rudi boleh dipuji atas keberanian keduanya memilih bentuk realis di tengah absurditas perilaku korupsi di negeri ini. Cobalah renungkan tokoh seperti Kahar (Fajar Emmillianus), seorang direktur di Perminus yang sudah kaya-raya dan beristri dua, masih juga dengan pongah melakukan korupsi. Bukankah ini paralel dengan realitas hidup di negeri ini, di mana tindakan korupsi, setidaknya yang diketahui, lebih banyak dilakukan oleh pejabat yang kaya-raya? Itukah yang disebut rakus? Ah, jangan-jangan tindakan korupsi itu semacam kleptomania? Absurd bukan? Sementara tokoh Hidayat (Wawan Sofwan) yang lurus dan jujur dituding bodoh dan orang bodoh pasti miskin.
Wawan dan Rudi tahu persis, pertama-tama realisme akan mengundang kebosanan lantaran dianggap memiskinkan tafsir. Oleh karena itu, 30 adegan yang membentuk bangunan cerita tak satu pun berdurasi lebih dari 5 menit. Pementasan ini ibarat potongan-potongan gambar yang disatukan oleh struktur plot besar: mengutuk perilaku korupsi secara ”membabi-buta”. Mungkin itu pula sebabnya poster pementasan ini memasang potret celeng, binatang yang dicap rakus menggeduk isi hutan.
Bahkan, pada adegan ke-20 ketika terjadi perundingan antara Hidayat dan investor dari Belgia, Onkelinx (Nandi Riffandi), untuk pembangunan pabrik baja di Cilegon, tak ada dialog yang terdengar. Gambar-gambar diperkaya dengan blocking tokoh-tokoh yang berubah-ubah diiringi siraman lampu yang dinamis. Adegan ini sudah cukup mengingatkan kita pada realisme yang diusung film. Begitu juga dengan adegan-adegan pendek itu, sepenuhnya mengacu pada visualisasi dan pengadeganan sebagaimana biasa terjadi pada film.
Siapa pun tak bisa menyangkal sampai kini realisme pada film seperti tak bisa habis. Bahkan, pada film-film fiksi ilmiah, segala sesuatu yang sesungguhnya belum nyata disodorkan sebagai sesuatu yang benar-benar ada sehingga seusai menonton kita mulai berpikir mungkin suatu kali realitas pada film benar-benar terhampar di hadapan kita.
Keberhasilan pementasan Ladang Perminus yang didukung banyak institusi pencemooh perilaku korupsi tiada lain dari kecerdikannya mencantol pada realisme yang disodorkan dunia film. Di situ persoalan penentangan pada perilaku korup tidak jatuh pada slogan atau sekadar bentangan spanduk di jalan-jalan. Dan, kita justru diajak untuk membenci Kahar bersama-sama dengan pernyataan yang melecehkan orang-orang lurus dan jujur. Perlawanan dari panggung itu diam-diam menyusup ke dalam hati kita. Lawan korupsi!

About this entry

Posting Komentar

 

Teater-Perminus | Author's blog | Powered By Blogspot | © Copyright  2009