KORUPSI DALAM WACANA HAK ASASI MANUSIA

Civil, political, and cultural rights have little meaning unless there are the economic resources to exercise and enjoy them. Equally, the pursuit and acquisition of material wealth is sterile and self-defeating without political freedoms, the opportunity to develop and express one’s personality and to engage in cultural and other discourses.
(1998 Asian Human Rights Charter, paragraf 2.2.)



Meskipun mendapatkan pengakuan yang luas dan dilengkapi berbagai instrumen internasional, wacana HAM masih saja tertambat di atas kertas. HAM masih saja termarjinalisasi dalam prakteknya, sampai ketika berbagai kelompok aktivis hak asasi manusia mulai menggunakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai “senjata” utama melawan merebaknya fenomena kesenjangan pasca perang dingin, terutama dengan menguatnya rezim ekonomi global belakangan ini. Atas nama pembangunan, masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah dijadikan korban (passive victims) demi kepentingan yang lebih besar: konglomerasi dan negara. Dalam konteks inilah, atas dasar keadilan dan martabat manusia, hak ekonomi sosial budaya memungkinkan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah menjadikan kebutuhan pokok mereka sebagai sebuah hak yang harus diklaim (rights to claim) ketimbang sumbangan yang didapat karena belas kasihan negara/rezim (charity to receive). Perubahan kesadaran ini menjadi langkah awal sebelum mengambil tindakan.

Perlawanan terhadap korupsi menjadi unsur penting dalam wacana penegakan dan pemenuhan HAM khususnya hak ekonomi sosial dan budaya (Ekosob). Seringkali pemerintah menyatakan tidak ingin masalah korupsi dijadikan bahan politisasi. Pemerintah juga berdalih tidak ingin dituduh melanggar HAM bila terlalu ekstrim dalam memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kita boleh saja setuju dengan itu. Tetapi tentu kita harus menolak jika pemberantasan korupsi dinilaisejajarkan sebagai pelanggaran HAM. Justru korupsi itu sendiri merupakan bentuk paling nyata dari pelanggaran terhadap HAM.

Instrumen-instrumen HAM internasional paling penting, yaitu Universal Declaration of Human Right (UDHR), The International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan The International Covenant on Economic, Social dan Cultural Right (ICESCR), meskipun secara secara implisit, telah mengisyaratkan bahwa korupsi sesungguhnya merupakan suatu bentuk dari pelanggaran HAM Korupsi telah menjadi akar sekaligus muara dari berbagai pelanggaran HAM. Bukan saja pelanggaran hak ekonomi sosial budaya yang merupakan dampak langsung, namun juga pelanggaran atas hak sipil dan politik sebagai dampak tidak langsung.

Pelanggaran atas hak-hak asasi di bidang hak ekonomi sosial budaya terjadi bilamana korupsi terjadi pada kebijakan yang diambil pemerintah yang menyebabkan kerusakan lingkungan, menguntungkan perusahaan besar dan meminggirkan masyarakat adat yang telah menghuni kawasan tersebut turun temurun. Salah satu contoh dari pelanggaran ini adalah impor limbah berbahaya dari Singapura. Bagaimana mungkin limbah berbahaya yang mengancam kelestarian lingkungan hidup (termasuk di dalamnya manusia), bisa masuk ke Indonesia? Penyebabnya tiada lain adalah korupsi yang melibatkan banyak pihak.

Sementara, dampak korupsi terhadap hak sipil dan politik, salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah penyiksaan yang dilakukan oleh aparat TNI menggunakan fasilitas Freeport di Papua. Dengan tuduhan terlibat Organisasi Papua Merdeka, aparat TNI yang mendapat dana "keamanan" dari PT Freeport melakukan penyiksaan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang menentang kehadiran Freeport. Sementara, pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi dapat dilihat pada gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan terhadap media dan aktivis anti korupsi. Contoh lainnya, pelanggaran hak atas pengadilan yang adil dan penghargaan individu setara di depan hukum dapat kita saksikan pada korupsi di peradilan. Karena korupsi, hakim tidak memutuskan berdasarkan keadilan tetapi justru pada besarnya uang yang diberikan. Akibatnya, banyak koruptor besar yang dibebaskan atau mendapat hukumgan ringan, sementara maling ayam mendapatkan hukuman yang berat.

Lalu, mengapa wacana hak ekonomi sosial dan budaya biasanya menguat pasca rezim otoriterian? Ada beberapa penjelasan yang barangkali bisa dijadikan pembenaran: (1) Karena pada saat rezim otoriter yang diutamakan adalah perjuangan hak sipil dan politik, hak-hak individu, karena hak-hak inilah yang lebih terepresi, sementara kondisi ekonomi relatif lebih terjamin karena terma ekonomi dan pembangunan digunakan sebagai alat legitimasi rezim. Sementara pada masa pasca rezim otoriterian, hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak yang bersifat perorangan relatif lebih terakomodasi, paling tidak melalui perbaikan instrumen-instrumen, sehingga “perjuangan” dialihkan pada hak ekonomi sosial budaya, atau hak-hak yang sifatnya kelompok yang tidak lagi “terjamin” seperti saat rezim otoriter berkuasa. (2) secara historis, penguatan hak-hak sipil dan politik atau hak-hak individu memang menjadi generasi pertama dari wacana universal hak asasi manusia. Baru pada generasi kedua hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya terangkat melalui apa yang dikenal sebagai “kritik Timur terhadap Barat” yang dibawa oleh negara-negara blok Timur pada masa perang dingin, dan pada generasi ketiga mulai dikenal adanya istilah hak-hak kelompok (groups rights).

Hak ekonomi sosial dan budaya membutuhkan pemerintah dan aktor-aktor non-negara yang berpengaruh lainnya untuk memastikan masyarakat mempunyai akses pada kebutuhan pokok dan memastikan mekanisme yang demokratik dimana masyarakat bisa menyampaikan pendapat pada pembuatan atau terhadap kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Yang juga dibutuhkan adalah sistem hukum yang memungkinkan aparat negara mempertanggungjawabkan kebijakan pembangunan beserta prioritasnya kepada konstituen mereka, yaitu masyarakat. Ini berarti termasuk melakukan review terhadap legislasi dan praktek administratif; mendorong pendidikan publik dan program informasi; melakukan penyelidikan atas segala pengaduan tentang pelanggaran yang terjadi; serta melakukan dengar pendapat demi tercapainya pemenuhan hak ekonomi dan sosial di seluruh wilayah negara, atau paling tidak di beberapa wilayah atau isu prioritas.

Supaya semua hal di atas bisa berjalan dengan baik, maka demokratisasi harus didorong. Disinilah peran wacana hak ekonomi sosial dan budaya pasca rezim otoriterian selama ini: untuk mendorong percepatan demokratisasi menuju tingkat yang lebih lanjut. Agar transformasi kehidupan bernegara tidak mandeg di tataran awal demokratisasi semata, yang direpresentasikan dengan instrumen dan reorientasi birokrasi, melainkan agar para pembuat kebijakan melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka untuk menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta menyelesaikan dengan adil dan transparan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebagai sebuah akibat dari kebijakan yang diambil.

Artinya demokrasi menjadi prasyarat. Ketika sebuah rezim berubah dari otoriterian menjadi demokratis, maka parameter yang pertama kali diukur adalah sejauh mana reorientasi peran serta warga negara dalam pembuatan kebijakan terjadi. Dalam tahap inilah, dibutuhkan kontrol terus-menerus kepada rezim yang baru berkuasa untuk tidak mengulangi tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya yang otoriter, tidak hanya berkaitan dengan perlindungan hak sipil dan politik, namun juga dalam hal pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya.



Agung Yudhawiranata
Peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

About this entry

Posting Komentar

 

Teater-Perminus | Author's blog | Powered By Blogspot | © Copyright  2009