Korupsi Mainteater di Ladang Perminus

Minggu, 09 Agustus 2009 | 12:21 WIB


TEMPO Interaktif, BANDUNG - Seisi kantor Perusahaan Minyak Nusantara alias Perminus gempar. Kasus korupsi besar di perusahaan negara itu terbongkar di halaman koran. Rincian angka duit yang ditilap meresahkan karyawan. Mereka pun saling tuding sebagai pembocor.

Hanya Kahar, pejabat dibawah Direktur Utama Perminus, yang tenang. Baginya, berita korupsi itu tak ada pengaruhnya buat rakyat. "Bodoh betul sih wartawan kita ini," katanya, "Jangankan wartawan, hakim dan jaksa sekalipun bisa saya suap. Di sini, uang yang berkuasa!"

Monolog itu membuka lakon Ladang Perminus yang dipentaskan kelompok mainteater di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung. Sutradara Wawan Sofwan dan FX. Rudy Gunawan, penulis naskah, mengadaptasinya dari novel berjudul sama karangan almarhum Ramadhan KH. Hampir tiap hari, pertunjukan tanpa tiket itu dimainkan dua kali selama 6-8 Agustus. Siang untuk kalangan pelajar dan malamnya untuk umum.

Panggung gedung yang cukup luas, ditinggikan kira-kira sejengkal orang dewasa sebagai pentas utama. Di situ, perancang panggung Joedith Tjhristianto membaginya dalam tiga set ruang yang digunakan silih berganti. Dua di depan saling bersebelahan, lebih sering digunakan untuk ruang kerja karyawan dan atasan. Sisa tempat di belakangnya yang lebih luas saat tirai hitam dibuka, kerap dipakai sebagai ruang keluarga atau kumpul-kumpul.

Sebagai penanda ruang, tiga kayu bujur sangkar berukuran masing-masing sekitar 25 meter persegi membingkai langit-langitnya. Tiap lampu padam yang menandakan pergantian adegan, tiga orang kru bergegas mengganti, menggeser, atau menyiapkan properti baru dalam kegelapan panggung.

Menyesuaikan latar cerita di era 70-80-an seperti kostum yang dipakai para pemain, satu set kursi empuk rumahan berkulit hijau model lama diusung ke atas panggung. Namun pemakaian meja dan kursi kayu di ruang kerja agaknya terlihat kurang pas. Bagi sebuah perusahaan kelas kakap, peralatan sederhana itu tentu terlihat janggal.

Ladang Perminus berkisah tentang Hidayat, seorang manajer di Perminus. Bekas pejuang kemerdekaan itu digambarkan sebagai sosok yang cerdas, jujur, idealis, dan setia menuruti kata hati. Pemilihan Wawan Sofwan untuk memainkan karakter tokoh utama itu terasa pas. Berperan alami sepanjang pementasan, komandan kelompok teater yang berdiri pada 1994 itu tampil prima. Meminjam istilah penilaian anggaran oleh Badan Pemeriksaan Keuangan, ia bermain 'wajar tanpa pengecualian'.

Selama bekerja, Hidayat yang sukses menjaring klien beberapa kali ditipu atasan dan dimanfaatkan untuk korupsi. "Dia itu pintar tapi bodoh," kata Kahar, atasannya yang diperankan tak kalah apik oleh Fajar Emmillianus. Dia menghidupkan karakter bos poligami yang berkuasa di kantor tapi takluk di depan istri.

Tahu ada korupsi, Hidayat memprotes Kahar dan mengancam akan membeberkan perbuatannya ke pers. Kahar tak kalah gertak. Dia lalu mengedarkan foto mesra Hidayat dengan seorang pramugari di sebuah kamar hotel saat melobi klien di Singapura.

Panglima tentara yang melihat foto syur itu lantas menarik dukungannya dalam pencalonan Hidayat sebagai calon Gubernur Jawa Barat. Pupus sudah peluangnya. Tapi, sebelum skandal seks itu menjadi santapan publik, Hidayat bertindak cepat mewujudkan ancamannya.

Dalam koran yang dibawa istrinya sambil marah, nama Kahar akhirnya benar-benar muncul sebagai tersangka kasus korupsi di Perminus. Jantungnya seperti diremas. Tak lama, Kahar dikabarkan mati. Pemerintah berencana memakamkan penyandang bintang jasa gerilya itu di taman makam pahlawan dibalut upacara kenegaraan.

Hidayat kecewa. "Di negeri ini, hanya di negeri ini, seorang koruptor bisa menjadi pahlawan," teriaknya di ujung pertunjukan.

Seperti itu juga barangkali yang dirasakan Ramadhan Karta Hadimadja (KH) saat membuat novel tersebut. Lelaki kelahiran Bandung itu telah berpulang tepat di hari ulang tahunnya ke-79 di Cape Town, Afrika Selatan, pada 2006. Dia pernah dibui 16 hari di penjara Kebon Waru, Bandung, pada 1965 lantaran difitnah.

Bersama ayah pemusik Bimbo, Dajat Hardjakusumah, keduanya dilaporkan sebagai pendukung partai komunis setelah bertemu pimpinan persatuan wartawan yang saat itu dianggap golongan kiri. Selain itu, dia berhenti sebagai wartawan kantor berita Antara setelah bekerja 13 tahun gara-gara tak tahan melihat korupsi yang merajelela.

Pertunjukan yang berjalan selama dua jam itu, tiga perempatnya dihabiskan untuk menyoroti kehidupan tokoh utama dalam keluarga dan di jam kerja. Lika-liku korupsi di zaman itu pun terasa agak basi untuk konteks korupsi saat ini yang sudah begitu canggih nan rumit. Kesan datar dan membosankan tak terhindarkan.

Untungnya ada penyegar suasana lewat tokoh Yu, kurir seorang cukong bernama Mr. Tong. Diperankan Ku Moh. Yusri Ku Abd. Rahman, mahasiswa asal Malaysia yang tengah magang di mainteater itu cukup fasih berdialek Cina Melayu. Aktingnya pun tak canggung.

Mainteater menyiapkan pementasan itu untuk kampanye anti-korupsi yang ikut digalang sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti ICW, Praxis, Walhi, dan Perkumpulan Seni Indonesia. Lakon yang sama rencananya akan dimainkan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 12-13 Agustus mendatang. Khusus kalangan penonton pelajar, panitia mengajak mereka untuk ikut dalam lomba penulisan opini anti-korupsi.

ANWAR SISWADI

Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/panggung/2009/08/09/brk,20090809-191600,id.html

About this entry

Posting Komentar

 

Teater-Perminus | Author's blog | Powered By Blogspot | © Copyright  2009