Dilema Minyak


Mengamati sejarah perkembangan sumber energi manusia, maka terdapat urutan dari kayu, beralih ke batu bara, selanjutnya minyak dan gas menjadi sumber energi. Peralihan tersebut karena rangakaian energi yang terakhir lebih tidak merusak lingkungan. Penggunaan kayu sebagai sumber energi utama dan massal akan lebih buruk dari penggunaan batu-bara, dan batu bara lebih buruk dari minyak dan seterusnya.

Kini mayoritas dunia mengandalkan minyak sebagai sumber energi utama. Perebutan minyak telah menjadi sumber peperangan (yang terbaru diantaranya adalah invasi Amerika terhadap Irak dan Afganistan). Juga kerusakan lingkungan terjadi akibat eksloitasi minyak. Banyak kasus kerusakan lingkungan berkaitan dengan eksploitasi minyak ini, seperti pencemaran laut di daerah Balikpapan, Indramayu Jawa Barat. Dampak buruk ini juga terjadi di negara lain tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez sebanyak 40 juta liter pada tahun 1989 ke laut Alaska. Dan bila eksploitasi minyak berada dibawah pemerintahan militeristik dan otoriter, sebagaimana Pertamina pada masa pemerintahan Orde Baru, dia menjadi lahan korupsi bagi segelintir elit penguasa negeri.

Karena dampak energi fosil telah melampaui daya dukung alam, maka dewasa ini beberapa negara telah mau beranjak meninggalkan energi fosil (diantaranya minyak) sebagai sumber energi. Salah satu diantaranya, tawaran dari Pemerintahan Ekuador yang memilih tidak mengeksploitasi minyak mereka yang terdapat di kawasan hutan Yanusi, dengan pertimbangan resiko kerusakan lingkunga, pengusiran masyarakat adat /lokal


Minyak dan Kerusakan Lingkungan

Minyak sebagai salah satu energi fosil juga berkontribusi mengeluarkan gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak tersebut mulai terasa saat ini, seperti peningkatan suhu hingga mencairnya es di daerah kutup, musim kemarau dan hujan yang makin ekstrim, energi badai dan puting beliung yang makin meningkat, dan lain-lain.

Konsensus para ilmuwan menyatakan emisi gas rumah kaca harus dikurangi 60-80 persen dari tingkat emisi tahun 1990 dalam beberapa dekade singkat ke depan. Sementara itu, Kyoto Protokol hanya membuat target pengurangan emisi sebanyak 5,2 persen dibawah tahun 1990 untuk masa tahun 2008-2012. Sebuah pengurangan sebenarnya tidak berarti, namun masih juga negera penghasil gas rumah kaca terbesar seperti AS menolak mengikuti Protokol Kyoto ini pada masa pemerintahan Bush.

Mengatasi dampak perubahan iklim dengan cara mengurangi konsumsi minyak melalui mekanisme penaikan harga (pencabutan subsidi) bukan jalan keluar yang adil. Akses rakyat, khususnya mayoritas kelompok miskin terhadap energi, secara moral dan prinsip keadilan dan demokrasi atas akses energi, tidak boleh dipersulit.


Privatisasi Minyak: Menguntungkan Korporasi, Merugikan Rakyat Miskin

Untuk itu, keluar dari energi fosil (salah satunya minyak) harus melalui jalan yang adil, tidak mengorbankan mayoritas rakyat miskin.

Perusahaan-perusahaan besar dan negara maju seperti Amerika Serikat mendorong agar negeri berkembang melakukan privatisasi (swastanisasi) pengelolaan minyak dan gas. Privatisasi perusahan minyak dan gas juga bukan jalan keluar ketergantungan terhadap minyak. Hal tersebut hanya menyebabkan harga minyak semakin mahal dan menjadi konsumsi kalangan segelitir elit. Sebagaimana rekomendasi sebuah studi yang disponsori oleh James Baker III Institute for Public Policy of Rice University dan Council on Foregin Relation (sebuah lembaga kajian hubungan luar negeri di Amerika Serikat yang berpengaruh terahdap kebijakan pemerintah AS) pada tahun 2001 menyatakan bahwa minyak mengalami ”pasokan yang sedikit” karena ”kurangnya investasi” dalam produksi baru dan ”negara-negara [penghasil minyak sering mengalami] goncangan [politik]”. Kelebihan kapasitas telah lenyap dan hampir tidak ada lagi karena negara produsen minyak sebagaian memperuntukkan minyaknya untuk proyek-proyek sosial daripada investasi pengembangan produksi kapasitas baru . Dengan demikian pandangan lembaga studi yang dekat dengan kepentingan perusahaan minyak internasional ini bahwa keuntungan minyak tidak boleh digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, sebagaimana saat ini dilakukan negara seperti Venezuela.

Untuk itu, lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasinya pada tahun 2007 ”agar semua perusahaan minyak nasional [yang dimiliki negara] diprivatisasi, investor asing diperlakukan setara dengan perusahaan minyak lokal, dan OPEC sebaiknya dibubarkan, yang akan memungkinkan terwujudnya perdagangan bebas dan pasar yang kompetitif untuk menyediakan energi yang dibutuhkan dunia dengan harga yang ditentukan oleh pasar.”

Celakanya, kemauan kepentingan korporasi besar dari negeri maju untuk memprivatisasi/meliberalisasi minyak telah beresonansi di Indonesia. Hal tersebut tampak dengan dikeluarkannya UU Minyak dan Gas pada tahun 2001. UU Migas No. 22/2001 mendorong penghapusan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional. Proses pembuatan undang-undang tersebut dikendalikan oleh kekuatan yang berkaitan erat dengan kepentingan korporasi, yakni USAID (United States Agency for International Development), sebagaimana pengakuan mereka “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…” Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000”.


Solusi: Energi Terbarukan Berbasikan Komunitas

Pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, geothermal skala kecil, mikro hidro adalah beberapa diantaranya yang mendorong pengelolaan energi menjadi lebih terdesentralisasi ke komunitas, dan tidak merusak lingkungan dan tidak terjadi penyingkiran terhadap masyarakat yang berada di sekitar sumber energi, sebagaimana terjadi dengan pertambangan minyak.

Beberapa inisiatif untuk pengembangan energi terbarukan telah ada ada di Indonesia, seperti mikro hidro di Lampung dan Kalimantan Timur diantaranya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Gunung Kidul. Kebijakan tersebut harus didukung dan dipermudah oleh pemerintah Indonesia. Dan negara maju sepantasnya memberikan hibah teknologi untuk pengembangan energi terbarukan ke negara dunia berkembang (bukan dalam bentuk pengalihan pembayaran hutang negara dunia). Hibah tersebut sebagai wujud pembayaran hutang ekologi negara maju yang telah berkontribusi lebih besar dalam pengerusakan kerusakan lingkungan hidup dunia, juga kerusakan lingkungan negara berkembang. Tugas kita mendesak pemerintah mengembangkan energi terbarukan, dan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil dengan cara adil, tidak memberatkan negara miskin dan rakyat miskin. Privatisasi adalah kepentingan korporasi.


Pius Ginting
Pengkampanye Tambang WALHI

About this entry

Posting Komentar

 

Teater-Perminus | Author's blog | Powered By Blogspot | © Copyright  2009