ICW dan gerakan antikorupsi di Indonesia

Perjuangan ICW selama kurang lebih 10 tahun (1998-2009) semenjak keberadaannya di masa reformasi secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi situasi sosial-ekonomi dan politik di lingkungan makro kenegaraan. Isu korupsi telah menjadi isu politik yang bisa menentukan -langsung maupun tidak langsung- jatuh-bangunnya kekuasaan, baik dalam kaitannya dengan jabatan maupun kekuasaan politik. Demikian halnya, tuntutan publik terhadap pertanggungjawaban penyelenggara negara (pemerintahan) kian kuat disuarakan melalui beberapa agenda, baik dalam ranah anggaran publik, pelayanan publik maupun kebijakan publik lainnya.

Dalam konteks penegakan hukum, desakan dan kampanye yang terus menerus dari ICW dan organisasi antikorupsi lainnya telah melahirkan sebuah gambaran lain dari pada periode sebelumnya, dimana pejabat negara, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif bisa diajukan ke pengadilan karena melakukan korupsi. Bukan hanya di tingkat daerah, akan tetapi kecenderungan ini juga menyentuh wilayah kekuasaan pusat seperti di parlemen.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya pimpinan KPK jilid II yang lahir karena tuntutan akan penegakan hukum yang independen, tidak pandang bulu dan berani telah menjadi harapan baru bagi masyarakat luas. Bukan hanya karena mandulnya kinerja penegakan hukum Kejaksaan dan Kepolisian, akan tetapi pada isu integritas penegakan hukum, KPK lebih bisa dipertanggungjawabkan. Tak heran jika laporan masyarakat kepada KPK atas dugaan tindak pidana korupsi di berbagai daerah juga meningkat dari waktu ke waktu.

Pemilu 2009 sebagai ajang regenerasi kekuasaan politik juga telah dipengaruhi secara signifikan oleh isu yang berkaitan dengan korupsi. Tertangkapnya beberapa anggota DPR RI menjelang pemilu 2009 telah meningkatkan tekanan publik terhadap kandidat maupun partai politik. Kampanye “Tidak Pilih Politikus Busuk” yang didengungkan oleh ICW dan NGO pada Pemilu 2009 telah disambut oleh kelompok lainnya, seperti kelompok mahasiswa, seniman, buruh dan bahkan politisi sendiri yang membutuhkan legitimasi politik untuk berkuasa ditengah-tengah iklim kompetisi politik yang lebih ketat karena mekanisme suara terbanyak.

Berkaca pada pemilu lokal (Pilkada), kekuatan uang dalam menentukan hasil pemilu nyatanya juga perlu dibaca ulang. Hal ini karena tidak semua incumbent yang menjadi calon kepala daerah terpilih lagi. Padahal jika diasumsikan mereka adalah penguasa sumber daya lokal, maka seharusnya mereka bisa menggunakan sumber daya tersebut untuk mempengaruhi pemilih. Namun faktanya tidak demikian. Ini artinya, ada pergeseran pemikiran di tingkat pemilih yang bisa menjadi potensi bagi dorongan perubahan politik ke depan.


Peluang dan Ancaman Gerakan Antikorupsi Kedepan

Dukungan publik yang makin kuat atas agenda gerakan antikorupsi di Indonesia telah memberikan legitimasi sosial atas keberadaan ICW kedepan. Muaknya masyarakat terhadap praktek korupsi yang terus menerus dipertontonkan oleh pejabat negara, baik kalangan eksekutif maupun legislatif menjadikan agenda antikorupsi tertantang untuk dapat menjawab masalah tersebut.

Di berbagai daerah, gerakan antikorupsi telah tumbuh, meskipun dengan berbagai keberagamannya. Strategi dan pendekatan antikorupsi dari satu daerah dengan daerah lainnya pun nampak. Meskipun harus diakui bahwa sebagian besarnya lebih banyak fokus pada isu penegakan hukum. Berbagai dorongan antikorupsi yang telah tumbuh memang masih didominasi oleh tuntutan penegakan hukum yang lebih kredibel terhadap para pelaku korupsi.

Masyarakat juga kian kuat posisi tawarnya dengan terbitnya berbagai UU yang memihak agenda pemberantasan korupsi. Mulai dari ratifikasi UNCAC PBB, lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban serta UU Kebebasan Informasi Publik paling sedikit telah memberikan harapan yang lebih besar bagi keterlibatan masyarakat luas secara langsung dalam mengontrol jalannya pemerintahan.

Secara khusus yang harus diwaspadai adalah rendahnya political will anggota DPR untuk segera menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang deadlinenya pada bulan Desember 2009 sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pengadilan Tipikor adalah jantungnya penegakan hukum KPK. Jika Pengadilan Tipikor tidak kelar pengesahannya hingga Desember 2009, maka kemungkinan besar KPK tidak akan banyak berguna. Kecuali jika kemudian Pemerintahan baru mengeluarkan Perpu, nasib KPK bisa berbeda.

Tantangan kedepan adalah bagaimana mengkonsolidasikan gerakan antikorupsi yang sudah muncul di berbagai daerah sehingga tidak terpecah-pecah dan memiliki strategi jangka panjang, bukan sekedar penegakan hukum. Karena jika pendekatan antikorupsi hanya sebatas penegakan hukum, akan lahir rasa ftrustasi di tengah situasi dimana lembaga penegak hukum konvensional tidak banyak berubah.

Demikian halnya, bagaimana gerakan antikorupsi di Indonesia dapat mendorong perubahan struktur politik yang lebih memihak kepentingan publik setelah proses hukum terhadap politisi/pejabat di lingkungan tertentu dilakukan. Sekarang ini terkesan penegakan hukum yang dilakukan terhadap Kepala Daerah misalnya tidak mengubah situasi. Artinya, pejabat pengganti dari pejabat sebelumnya yang sudah diproses oleh KPK misalnya memiliki perilaku yang sama, yakni korup.

Ujian lain yang harus dijawab adalah bagaimana gerakan antikorupsi di Indonesia dapat membumikan UU yang telah lahir, seperti UU PSK, UU KIP dan ratifikasi UNCAC. Kekhawatiran yang muncul bahwa UU tersebut sebatas ada, tapi tidak pernah bisa dijalankan. Oleh karenanya, dibutuhkan strategi dan pemikiran untuk menjadikan UU diatas sebagai payung hukum yang fungsional bagi masyarakat dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap kekuasaan.



Sely Martini

Program Monitoring and Evaluation
Indonesia Corruption Watch

About this entry

Posting Komentar

 

Teater-Perminus | Author's blog | Powered By Blogspot | © Copyright  2009