Dua Drama Teror

























Dua pertunjukan drama yang kusaksikan pada Rabu (28/10) malam sungguh merupakan teror buatku. Secara pemanggungan, keduanya sama-sama bagus. Sayang, penampilan Teater Studio Indonesia kelewat meneror penontonnya, dalam arti yang sesungguhnya. Pada sajian Perempuan Gerabah, beberapa penonton nyaris cedera wajah.

Grup teater asal Serang, Banten ini, sejatinya sudah memukau publik teater Solo sejak beberapa hari sebelum pementasan. Sebuah instalasi bambu menyerupai arena sabung ayam bediameter delapam meter dibangun di atas pelataran parkir. Ada dua tingkat untuk tempat duduk penonton, mengitari stage area berbentuk lingkaran yang tak seberapa luas, namun bisa berputar layaknya papan rolet.

Di atas lingkaran itulah, enam pemain menabuh aneka bentuk gerabah, yang sekaligus menjadi properti pertunjukan. Hasil eksplorasi yang sejatinya unik, dengan capaian artistik yang bisa dibilang bagus. Ada tawaran baru menurut istilah nyeni-nya. Sayang, sutradara Nandang Aradea tidak memperhatikan aspek kenyamanan dan keselamatan penonton, yang dalam konteks pertunjukan itu justru ditempatkan sebagai bagian dari pertunjukan.

Gerabah yang dikibar-kibaskan salah satu aktornya terlempar keluar. Untung beberapa penonton memiliki refleks yang bagus sehingga gerabah yang mengarah ke wajah dapat ditepis mereka. Seorang penonton bereaksi, meninggalkan arena sembari menyatakan takut terkena lemparan.

Pada sisi yang lain, banyak penonton terbatuk-batuk terkena debu yang dihasilkan dari tumpukan jerami sebagai alas pentas. Hentakan kaki enam pemain dengan tempo cepat menghamburkan debu-debu kotor yang membuat perih mata dan hidung. Penonton terteror luar-dalam. Puncaknya, banyak wajah penonton ‘tompel-tompel’ karena ‘adonan’ tanah sebagai properti pentas yang dilemparkan para aktor/aktrisnya kian tak terkontrol.

Sadis, memang. Apalagi, jarak stage area dengan penonton hanya satu setengah meter saja! Sebelum pertunjukan berakhir, penonton pada ngacir, menyaksikan dari kejauhan.


***


Teror kedua, justru mengancam keluarga, tetangga, teman-teman bahkan sosok-sosok terkenal yang hanya dikenal penonton lewat media massa. Sebuah potret kejahatan korupsi, yang dilakukan secara terang-terangan lewat sajian Ladang Perminus oleh Mainteater, Bandung.

Naskah drama besutan FX Rudy Gunawan yang mengadaptasi novel Ramadhan KH dengan judul sama itu menceritakan pat-gulipat usaha menggerogoti uang rakyat melalui persekongkolan pejabat perusahaan minyak milik negara dengan para cukong di Singapura.

Pusat cerita ada pada Hidayat (diperankan Wawan Sofwan), seorang pegawai menengah PT Perminus (Perusahaan Minyak Nusantara) yang relatif jujur, yang ogah menerima suap kelewat besar. Hadiah mobil mewah dari rekanan perusahaan misalnya, ia serahkan kepada atasannya. Namun gratifikasi receh yang dianggap ‘biasa’ dalam sebuah bisnis,ia coba menerapkan prinsip pemerataan.

Sebagian ia berikan kepada rekan-rekan sekantornya, sebagian yang lain digunakannya untuk bersenang-senang dengan kekasih gelapnya di luar negeri. Hidayat ditampilkan sebagai orang yang bersih seutuhnya, yang oleh Rudy Gunawan dikatakan sebagai bentuk-bentuk sisi manusiawinya. Sebaik apapun, seseorang tak mungkin bisa hidup tanpa cacat atau noda, apalagi di dalam sebuah perusahaan yang budaya korupsinya sudah mengakar kuat seperti Per….. itu.

Kahar (Fajar Emmillianus) yang berada di posisi atasan memetik keuntungan pribadi dari Hidayat yang jujur dan suka berterus terang. Sogokan mobil yang akan dikembalikan lagi oleh Hidayat dicegah Kahar dengan dalih berpotensi merusak ‘hubungan baik’ dengan mitra usaha. Lebih baik dimasukkan sebagai tambahan aset perusahaan lewat dirinya daripada si pemberi kecewa, meski kemudian beralih ke istri simpanan.

Pada kali lain, Hidayat diminta melakukan negosiasi ulang atas sebuah kontrak kerja sama baru dengan peusahaan asing. Ia berhasil menurunkan nilai kontrak, namun di-mark up kembali oleh Kahar demi memetik keuntungan. Konflik pun meruyak ketika Hidayat tahu, hasil renegosiasi dinaikkan kembali dalam kontrak resmi.

Korupsi, bisa hadir dalam bentuknya yang manis, seperti tawaran uang saku pada sebuah kunjungan atau lawatan sebagaimana diterima Hidayat dari suruhan cukong. Namun ia bisa mewujud dalam praktek yang terang benderang liciknya seperti dimainkan oleh Kahar.

Sama dengan keseharian kita, ketika nomor-nomor seri kertas parkir atau retribusi –yang nominalnya hanya antara berhisar antara Rp 200 hingga Rp 1.000 – tak berguna. Dinas Pendapatan Daerah yang menjadi institusi pengelola resminya, sanggup ditarget untuk memasukkan kas (berapapun besarnya) ke dalam pos pendapatan asli daerah (PAD). Nomor seri hanyalah deretang angka, yang tidak mesti masuk dalam hitungan rinci jumlah uang yang terkumpul dari publik.

Pelakunya bisa siapa saja, mungkin teman atau bahkan keluarga kita. Pemanggungan Ladang Perminus, bukan saja menarik ditonton. Lewat teater, pesan antikorupsi bisa dihayati lebih halus dan menancap di benak. Apalagi, di tengah situasi dimana minta baca karya satra masih rendah di tengah-tengah kita.

Wawan Sofwan yang tampil sebagai pemeran utama, kelihatan sangat piawai menjalani perannya sebagai sutradara. Pertunjukan berdurasi hampir dua jam terasa tak lama. Artistiknya sempurna, jeda pergantian adegannya juga tak terasa. Sebuah kerja seni yang mengagumkan, ketika stage crew juga bisa menunjukkan kerapiannya bekerja.

Korupsi, terlalu banyak di sekitar kita. Tak perlu jauh-jauh memelototi kasus skandal Bank Century atau perseteruan Cicak dengan Buaya. Bagi kita, mungkin cukup menoleh pada penarikan (dan setoran) retribusi. Di Solo, misalnya, kita bisa mengendus potensi praktek korupsi yang begini. Pelaksana, biasa menaikkan tarif parkir dua kali lipat dari harga yang tertera di zona padat..…

Konon, ada target setoran yang tinggi dari bagi penguasa lahan kepada para juru parkir. Alhasil, publiklah yang dirugikan…

Korupsi, sesungguhnya merupakan teror yang nyata, yang mengancam masa depan negara dan rakyatnya.


Sumber: http://blontankpoer.com/dua-drama-teror/

About this entry

  1. nice post. thanks

Posting Komentar

 

Teater-Perminus | Author's blog | Powered By Blogspot | © Copyright  2009