GERAKAN KEBUDAYAAN UNTUK MELAWAN KORUPSI
“Di negeri ini, hanya di negeri ini, koruptor bisa menjadi pahlawan!”
Dalam situasi politik yang masih tetap tak bisa menjamin kepastian penegakan keadilan dan kebenaran, berbagai alat negara untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan demokratis bisa saja dijungkalkan, dilucuti, atau bahkan “dibunuh” seperti yang kini tengah terjadi pada KPK. Lembaga-lembaga negara yang lain pun tak luput dari situasi yang sama padahal persoalan-persoalan yang menjadi tugas dan kewenangan lembaga-lembaga seperti KPK sangatlah besar dan mendasar untuk menata kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Korupsi, seperti semua orang memahaminya, adalah musuh besar bagi sebuah bangsa yang ingin maju dan memiliki kehidupan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.
Pemberantasan korupsi seharusnya menjadi sebuah tugas dan tanggungjawab bersama yang bisa menyatukan berbagai perbedaan dari semua komponen masyarakat. Korban korupsi tak membedakan golongan, suku, agama, status sosial, ataupun ideologi tertentu. Rakyatlah yang menjadi korban secara keseluruhan. Rakyat secara keseluruhan adalah bangsa. Karena itulah, sebuah pemerintahan yang korup pasti menghasilkan bangsa yang tertinggal dan miskin. Sayangnya, kita kerap membiarkan korupsi merajalela di hadapan kita tanpa berbuat apa-apa. Hanya segelintir kelompok masyarakat, seperti ICW misalnya, yang bergerak secara serius mencoba melakukan gerakan perlawanan terhadap korupsi. Tentu saja hal ini menjadi sangat berat jika komponen masyarakat lainnya diam saja dan hanya berharap ICW atau KPK berjuang mati-matian melawan korupsi.
Keadaan semacam inilah yang menggerakkan PSI (Perkumpulan Seni Indonesia), Praxis, ICW, Walhi, dan Mainteater melakukan sebuah pendekatan yang berbeda untuk mengkampanyekan gerakan melawan korupsi melalui media kebudayaan. Pertimbangan utama yang mendasari gerakan ini adalah adanya kebutuhan mendesak untuk mengajak seluruh komponen masyarakat terlibat dalam gerakan melawan korupsi. Berbagai cara dan metode yang sudah dilakukan selama ini, umumnya melalui jalur hukum, advokasi, atau kampanye media secara langsung. Jalur pendidikan pun sudah mulai dirintis melalui beberapa perguruan tinggi yang memiliki program khusus tentang kajian korupsi. Selain itu, korupsi yang sudah membudaya juga harus dilawan dengan membangun budaya anti-korupsi. Pentas Ladang Perminus yang diangkat dari novel karya Ramadhan KH tentang korupsi di sebuah perusahaan minyak milik Negara, merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang diharapkan bisa menjadi sebuah gerakan kebudayaan yang meluas dan terus menguat secara perlahan namun pasti.
Dengan tagline “di negeri ini, hanya di negeri ini, koruptor bisa menjadi pahlawan!” diharapkan pementasan Ladang Perminus bisa menggugah bergulirnya gerakan melawan korupsi di Indonesia. Katakan “cukup!” dan mari kita lawan korupsi bersama-sama.
Agustus 2009,
ICW - Praxis - PSI - Mainteater - WALHI
Posting Komentar