Teater Sebagai Medium

Pada satu sisi, pementasan teater memiliki fungsi sebagai cermin dari sebuah situasi masyarakat di mana teater itu tinggal. Dalam setiap pementasannya, setiap orang akan bercermin pada apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Dengan begitu maka teater tidak akan kehilangan daya kritisnya dalam menanggapi kondisi zamannya.

Untuk memenuhi fungsi di atas maka pemilihan naskah sangat menentukan. Ada berbagai macam naskah teater, mulai yang klasik para pengarang luar negeri dan dalam negeri mulai yang klasik sampai modern. Tapi kadang naskah tersebut sudah ketinggalan zaman. Atau kalaupun dipentaskan mesti melalui sebuah penafsiran. Ada kesan dipaksakan supaya tetap kontekstual.

Maka diperlukan berbagai macam upaya dalam mengadakan naskah teater tersebut. Salah satu diantaranya adalah mengadaptasi dari sebuah novel.

Kami dalam pementasan ini mengambil sebuah novel Ladang Perminus, karya Ramadhan KH.

Ada beberapa alasan mengapa kami mengambil novel ini sebagai bahan untuk adaptasi, yaitu:

  1. Novel ini mengambil setting korupsi di Pertamina pada tahun 1970an. Dalam kisahnya disebutkan betapa sudah mengguritanya perilaku korupsi di perusahaan tersebut yang akhirnya harus ”memaksa” setiap orang yang berurusan dengan Pertamina juga harus melakukan korupsi dan kolusi.
  2. Kasus-kasus korupsi dan dampaknya di bidang migas masih saja terjadi di Indonesia. Kelangkaan bahan bakar, sebagai akibat korupsi, yang notabene sangat penting bagi kehidupan rakyat masih saja dialami rakyat kecil sehingga harga-harga naik dan mencekik leher mereka.
  3. Tragedi Lumpur Lapindo di Porong telah begitu dasyat merusak kehidupan masyarakat di sana. Hal ini juga tak lepas dari perilaku korupsi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan politik.
Read On 1 comments

Ide Pementasan

Skandal demi skandal muncul dan menggerogoti neraca pembayaran minyak dan gas ke dalam kas negara. Tradisi mencuri di rumah sendiri adalah tradisi yang mengakar kuat di bidang ini. Media massa tak pernah kehabisan bahan untuk menulisnya. Harian Indonesia Raya merupakan media yang paling rajin menulis korupsi, kolusi, nepotisme dan kronisme – di tubuh Pertamina, yang diibaratkan sapi gemuk yang habis badan akibat diperah para penghuninya. Dan penghuni yang paling kuat tentu para pemimpinnya.

Keberhasilan media cetak mengendus KKN di Pertamina merupakan prestasi luar biasa lantaran mengakses data keuangan Pertamina saat itu mustahil. Transparansi audit keuangan masih menjadi sesuatu yang langka. Oleh sebab itu Indonesia Raya juga harus mati muda. Korupsi dengan segala bentuk dan model yang terjadi di dunia industri minyak negara ini sulit dibuktikan. Nyaris semua bentui korupsi di Pertamina yang konon melibatkan keluarga Soeharto dan kroninya di masa Orde Baru tak pernah terbongkar.

Pada edisi 30 Januari 1970 harian ini menulis bahwa simpanan Ibnu Sutowo, pendiri dan direktur utama Pertamina, mencapai Rp. 90,48 miliar. Jumlah yang fantastis dibandingkan dengan kurs rupiah saat itu yang hanya berada pada angka Rp. 400. Indonesia Raya juga menulis akibat jual beli minyak lewat jalur kongkalikong Ibnu dan pihak Jepang, negara dirugikan sampai 1.554.590,28 dolar AS.

Pada tahun 1975, Ibnu Sutowo mewariskan utang 10,5 miliar dolar AS. Utang ini nyaris membangkrutkan Indonesia. Penerimaan negara dari minyak saat itu hanya 6 miliar dolar AS. Ibnu memang mundur dari posisi Direktur Utama Pertamina (1976), tetapi utang dan dugaan korupsi itu tidak pernah masuk ke pengadilan. Jauh sesudah itu baru terbongkar kasus simpanan 80 juta dolar di berbagai bank milik almarhum H. Thaher, salah satu direktur pada jaman Ibnu. Melalui pengadilan yang berbelit-belit, Pertamina memenangi perkara tersebut.

Pada 1998 Menko Pengawasan dan Pembangunan Hartarto menyampaikan tekadnya untuk membersihkan Pertamina dari KKN. Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro juga menyatakan siap menyikat korupsi di Pertamina. Namun gurita bisnis yang merupakan kroni Soeharto yang telah dipangkas bisa dihitung dengan jari. Departemen Pertambangan dan Energi mencatat ada sekitar 159 perusahaan milik anak, cucu, kerabat dekat, dan kroni Soeharto di Pertamina.

Selama 60 tahun terakhir, setidaknya terdapat beberapa kasus skandal korupsi migas. Mulai dari Exxon Balongan, Ustraindo, Blok Cepu, hingga VLCC. Semuanya melibatkan penguasa dan kroninya, yang hingga hari ini tetap menyengsarakan rakyat.
Read On 0 comments
 

Teater-Perminus | Author's blog | Powered By Blogspot | © Copyright  2009